Dewa Toapekong (Hanzi : 大伯公; Pinyin : Dàbó Gōng; Hokkian : Tua Pek Kong) merupakan salah satu Dewa Taoisme dalam kepercayaan masyarakat Tiongkok dan perantauannya, termasuk etnis Tionghoa di Indonesia.
Dewa Da Bo Gong dianggap sebagai “Dewa Kemakmuran”. Menurut kisah hidupnya, Beliau merupakan seorang pelaut dari wilayah Fujian, Tiongkok, yang mengorbankan dirinya untuk umat manusia.
Dewa ini sendiri memiliki beberapa sebutan. Orang Kanton menyebutnya Daai baak gung, lalu orang Hakka memanggilnya Thai phak kong, sementara orang Hokkian mengejanya Tua pek kong.
Dewa Da Bo Gong, atau Toa Pek Kong secara harafiah berarti “Paman yang Agung”, dimana Da/Toa sendiri memiliki arti “yang paling besar, atau yang tertua”, sementara Bo/Pek berarti “paman atau kakak“, dan Gong/Kong yang berarti “kakek”.
Jadi, Da Bo Gong secara keseluruhan bermakna “Paman Buyut, atau Kakak Tertua dari Kakek”. Sebutan yang terhormat tersebut diberikan, karena kultur dari orang Tiongkok sangat menghormati orang2 yang dituakan.
Ada beberapa versi cerita sejarah tentang kehidupan Da Bo Gong sebelum menjadi Dewa.
Versi pertama menuliskan bahwa Beliau dulunya adalah seorang pelaut dari propinsi Fujian. Suatu ketika Dia mendapat mimpi bahwa di tengah laut terdapat seseorang yang tengah mengapung, dalam kondisi keracunan. Ia kemudian menemukan orang tersebut, dan berusaha menyedot racun dari mulut korban sehingga selamat. Namun dirinya sendiri akhirnya meninggal karena racun tersebut.
Masyarakat setempat kemudian memujanya, untuk mengenang keberanian serta pengorbanannya.
Sementara Versi kedua menyebutkan bahwa Beliau dulunya adalah seorang pelajar dari propinsi Fujian, bernama Zhang Li 张理, yang berasal dari suku Hakka. Beliau bermigrasi ke Malaya (saat ini wilayah Malaysia) pada masa pemerintahan Kaisar Qianlong 乾隆帝 (1736-1790) dari Dinasti Qing.
Beliau digambarkan sebagai seorang pria yang ramah, berbudi, dan jujur, serta memiliki jenggot yang panjang.
Suatu ketika hendak menuju wilayah Sumatra, perahunya tiba2 diterpa angin yang kuat, dan secara tidak sengaja mendarat di pulau Penang, Malaysia, yang ketika itu baru dihuni sekitar puluhan orang saja.
Beliau diyakini telah tiba di pulau itu sekitar 40 tahun lebih awal dari Francis Light (seorang penjelajah dan pendiri koloni Inggris di Penang pada tahun 1746). Pasca kematiannya, masyarakat setempat mulai memujanya dan mendirikan sebuah kuil Tua Pek Kong disana.
Beliau dimakamkan di belakang pulau Mutiara kuil Tua Pek Kong (Sea Pearl Island) di Tanjung Tokong.
Kisah Tua Pek Kong di Penang menunjukkan nilai2 dan tradisi persaudaraan yang tersumpah, diantara sesama perantauan Tiongkok :
Disebutkan bahwa Zhang Li (张理), awalnya tinggal di komunitas nelayan kecil sebagai guru. Dia dikenal karena keramahan dan kebaikannya terhadap sesama, sehingga penduduk desa selalu mencarinya ketika mereka memiliki masalah, untuk meminta bantuan dan bimbingan.
Menurut catatan sejarah, ada 2 orang yang menjadi saudara lelakinya yang disumpah, yakni Chiu Hsiao Ching (seorang pembuat arang) dan Ma Fu Choon (seorang pandai besi).
Karena Ia adalah anak tertua, Ia biasa dipanggil oleh anak2 muda di desa itu dengan sebutan Tua Pek (dialek Hokkian). Dalam dialek Hokkian, Tua/Toa sendiri berarti “yang tertua, atau yang paling besar”. Sementara Pek sendiri berarti “paman atau kakak“.
Sebutan tersebut dianggap sebagai sebutan yang terhormat, karena kultur orang Tiongkok yang selalu menghormati orang2 yang lebih tua. Mereka bertiga tampak sangat dekat satu sama lain. Ketika pekerjaan di hari itu selesai, mereka selalu saling bertemu satu sama lain di satu lokasi favorit mereka di desa.
Pada suatu hari, Chiu dan Ma seperti biasa akan pergi menemui saudara tertua yang mereka hormati. Namun ketika menjumpainya, mereka terkejut sewaktu menemukan kakak tertua mereka sudah dalam pososi duduk dan tidak bergerak, di samping batu besar.
Mereka berusaha membangunkannya, tetapi kemudian segera menyadari, bahwa saudara yang mereka segani itu telah meninggal.
Perasaan sedih pun membanjiri seisi desa. Mereka sangat kehilangan sosok yang menjadi panutan, serta yang bisa diandalkan ketika mereka mengalami masalah.
Warga desa kemudian ikut membantu menguburkannya tak jauh dari batu besar itu. Suatu waktu ketika Chiu dan Ma meninggal, mereka juga ikut dimakamkan disana, disamping saudara tertua mereka yang disumpah.
Saat ini, kuburan mereka bertiga masih dapat ditemukan tepat di belakang kuil Sea Pearl Island Tua Pek Kong, Penang, Malaysia.
Sejak saat itu, masyarakat desa kemudian membangun sebuah kuil untuknya, dan menyembahnya sebagai seorang Dewa oleh masyarakat Tionghoa peranakan di Malaysia. Kepercayaan terhadapnya kemudian menyebar hingga ke seluruh wilayah Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Tiongkok.
Beliau dipercaya sebagai Dewa yang melindungi keselamatan para pelaut dalam setiap pelayarannya.
Beliau juga ikut dipuja oleh para buruh imigran Tiongkok (jaman dinasti Qing) yang bekerja di perkebunan lada di Semenanjung Malaya, sekitar tahun 1800-an, dikarenakan banyak yang meninggal akibat wabah malaria serta penyakit2 iklim tropis lainnya.
Sebagian masyarakat Tionghoa juga menganggap Toa Pek Kong sebagai Dewa kemakmuran dan perdagangan, karena melindungi para pekerja dari sakit dan kecelakaan, sehingga mereka dapat fokus untuk bekerja mencari kekayaan; serta akan memberkahi orang2 yang berhati baik.