Antara Dongeng dan Akal Sehat
Zao Jun Ye [Ciao Kun Ya – Hokkian] sering kali disebut sebagai Zao Wang Ye [Ciao Ong Ya – Hokkian], dan sebutannya yang paling populer adalah Dewa Dapur.
Pada tanggal 24 bulan 12 Imlek, kita biasa merayakannya sebagai hari besarnya Dewa Dapur. Seringkali perayaan ini kita adakan sebagai kebiasaan dan tradisi. Hanya sedikit daripada kita yang mengerti sejarah dan maknanya. Sehingga ketika anak-anak kita yang masih kecil bertanya, kita hanya menjawabnya dengan dongeng-dongeng yang kadang-kadang dibuat seram supaya mereka takut dan tunduk.
Pada hari itu masyarakat mengadakan sembahyang untuk mengantar beliau naik ke surga untuk menemui Thian Kung. Konon, beliau akan melaporkan segala kelakuan kita yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, dalam perayaan ini kita seakan-akan bermaksud merayu beliau agar mengatakan yang baik-baik saja. Kita biasa meletakkan gambar atau patung Zao Jun di tengah-tengah altar. Di sebelah kiri dan kanannya diletakkan dua baris syair yang ditulis di atas kertas merah dan sebuah lagi diletakkan melintang di atasnya. Bunyinya: “Paduka yang mulia, sebutkanlah kebaikan kami di langit dan bawalah berkah kepada kami apabila anda turun dari langit”.
Dalam rangka untuk “menyogok” Dewa Dapur demi kebaikan dan berkah, mereka menyediakan segala macam makanan dan buah-buahan yang enak-enak. Yang jelas, biasanya tidak ketinggalan pula wedang ronde, kue onde-onde, dan makanan dari gandum yang serba lengket-lengket.
Mengapa?
Konon kabarnya agar setelah Dewa Dapur memakannya, diharapkan mulutnya menjadi lengket sehingga ketika bertemu dengan Thian Kung, beliau tidak dapat bicara dan tidak dapat pula melaporkan keburukan-keburukan.
Wah, jahat sekali dong! Masa Dewa dipermainkan? Kita saja yang manusia setelah makan kue onde-onde masih bisa berbicara, apalagi Dewa, masa tidak bisa? Dan lagi apakah Dewa itu suka makan kue onde-onde dan wedang ronde?
Sesuai tradisi orang Tionghoa, kita mengenal banyak sekali dongeng-dongeng dan mitos (yaitu: dongeng yang dianggap benar-benar terjadi). Contoh lainnya adalah tradisi orang Tionghoa dalam upacara penguburan orang mati, biasanya disertai dengan pembakaran uang-uangan, rumah-rumahan, mobil-mobilan, dan segala macam “harta-harta” dari kertas. Katanya agar hidupnya makmur di atas sana.
Makna dari Dongeng
Dongeng-dongeng dan mitos-mitos sebenarnya berbicara mengenai masa kini dengan membawa kita kembali ke masa lampau. Membawa kita lari sejenak dari kenyataan untuk berkhayal. Tujuannya tidak saja untuk mengenang dan menghormati leluhur kita, tetapi juga untuk merenungi keberadaan kita saat ini.
Dari cerita-cerita sejarah (entah benar atau tidak), kita sering mendengar bermacam-macam versi mengenai orang-orang yang berjasa besar yang kemudian menjadi Dewa-Dewa. Antara lain adalah Dewa Dapur.
Siapakah sebenarnya dia?
Kita tidak ada yang tahu. Tetapi yang jelas, dapur adalah bagian yang penting dalam kehidupan kita. Setiap hari kita perlu makan dan makanan itu berasal dari dapur. Dan dapur akan tetap jalan apabila kita tetap mendapat nafkah.
Dengan kata lain, dapur merupakan bagian dari pada hidup kita. Segala macam berkah dan kelimpahan pada awalnya adalah untuk memantapkan perut dahulu, baru setelah itu buat kesenangan yang lain. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita harus bersyukur bahwa masih dapat makan.
Dengan demikian, mitos atau dongeng-dongeng sebenarnya adalah sebuah pencarian dan sekaligus pengungkapan makna dari kenyataan hidup. Yaitu kenyataan hidup kita yang nyata dan pada masa sekarang. Tetapi tidak hanya berhenti disitu saja, mitos mengajak kita untuk berjalan-jalan ke masa lampau atau ke dunia khayal. Mengapa? Ya karena manusia tidak puas hanya dengan keadaan / kondisi yang nampak. Manusia berusaha untuk memahami hakikat kehidupan lebih dari pada itu.
Mitos adalah pencarian manusia untuk memahami segi yang terdalam dari benda-benda dan keadaan. Mitos muncul karena orang mau mengerti rahasia alam, rahasia kehidupan.
Kalau kita mendengarkan dongeng-dongeng, mitos atau cerita-cerita aneh, maka emosi kita terlibat. Kita asyik bercerita dan bahkan saling berebut untuk menceritakannya. Kita dapat menangkap maknanya bila kita secara emosional terlibat. Hal ini adalah karena kalau kita berbicara mitos, yang sebenarnya dibicarakan adalah diri kita.
Kepercayaan / keyakinan yang merupakan cermin dari perpaduan diri kita dengan dunia luar, yaitu keyakinan yang diwarnai dengan tradisi, agama, moral, kejiwaan, sosial, tempat tinggal, dll. Karena begitu pekatnya makna yang hendak diberikan oleh sebuah mitos, maka kita menggunakan lambang, simbol, dan perumpamaan.
Pertemuan dengan Akal Sehat
Kehidupan manusia tidak hanya dinilai dari hal-hal yang tampak / nyata. Manusia memiliki perasaan, emosi, dan pikiran.
Banyak kejadian-kejadian atau peristiwa yang lebih bisa dilihat secara emosional daripada secara rasional. Emosi dan perasaan manusia bersifat subjective, karena segala sesuatunya diukur oleh nilai-nilai diri sendiri yang dapat berbeda dengan nilai-nilai orang lain. Sulitnya, kenyataan emosional ini tidak mudah untuk disampaikan kepada orang lain. Oleh karena itu, masih banyak hal-hal yang tidak terungkap hanya dengan menggunakan akal pikiran / logika saja.
Kehidupan harus terus berlangsung. Pekerjaan dan tugas-tugas telah menanti. Tetapi kita adalah mahluk sosial, yaitu hidup ditengah-tengah masyarakat dan berhubungan dengan orang lain. Dalam kegiatan sehari-hari kita harus bertemu, berkomunikasi, dan bekerja sama dengan orang lain.
Namun karena adanya hal-hal yang sulit diungkapkan, baik dengan raut muka, kata-kata, maupun tulisan, maka sering terjadi kesalahpahaman. Mengapa? Karena ada pesan-pesan emosional yang tidak tersampaikan kepada sang penerima pesan tersebut. Hal ini disebabkan kurangnya penguasaan bahasa sehari-hari untuk mengangkat semua kenyataan yang dialami.
Memang, bahasa sehari-hari merupakan penalaran secara berurutan, dengan cara tertentu, dan masuk akal. Hal ini apabila digunakan untuk menyatakan secara jelas, tetapi tidak akurat karena bersifat menjelaskan sebagian hal-hal tertentu saja. Tentu saja, cara ini sangat tidak memadai untuk mengungkapkan makna yang begitu padat dan kaya dari sebuah mitos.
Mitos Dewa Dapur akan menjadi kurang bernuansa dan bermakna bila kita rumuskan dalam bahasa logika yang sistematis dan metodis.
Contoh:
Selanjutnya:
Dua rangkaian penyataan logis diatas sangat jelas mengungkapkan bahwa dapur adalah bagian daripada kehidupan manusia yang sehari-harinya tidak bisa lepas dari persoalan makan.
Didalam permisalan di atas tampaklah jelas mana yang menjadi subject (manusia) dan yang menjadi object (dapur). Tetapi dalam mitos persoalannya menjadi lain. Di dalam mitos, mana subject dan object adalah tidak perlu. Yang dipentingkan adalah pesan yang dapat ditangkap. Mitos adalah bagaikan melihat sebuah gambar. Di dalam gambar, seseorang tidak perlu berkata-kata, karena pesan dan kesan ditangkap melalui penghayatan. Untuk memahami sebuah gambar, orang harus terlibat di dalamnya. Pikiran dan emosi bersatu dalam gambar. Contoh: bila kita melihat foto dari orang yang paling kita kasihi (ayah, ibu, atau kekasih), maka foto itu akan berbicara banyak. Pertemuan kita dengan foto itu menimbulkan banyak perasaan dan kesan yang sulit diungkapkan dalam bahasa logika.
Jadi apabila logika adalah suatu usaha untuk menerangkan sesuatu secara jelas berdasarkan akal sehat, maka sebaliknya, mitos adalah suatu ajakan kepada seseorang untuk merenungkan sesuatu dan menangkap makna yang terdalam yang terkandung di dalamnya. Di dalam mitos, baik kejelasan maupun teka-teki kehidupan diterima sebagai suatu kesatuan pengalaman yang sah. Sedangkan di dalam logika, sesuatunya diusahakan demi kejelasan, segala yang tidak jelas harus dihilangkan.
Logika masih tetap diperlukan
Logika memang menguruskan kekayaan pengalaman. Logika tidak memberi tempat kepada emosi. Orang dituntut untuk menjadi lugas dan apa adanya. Orang membahas sesuatu haruslah urut dan sesuai dengan akal sehat, tidak boleh begitu saja meloncat dari satu hal ke hal lain. Tidak boleh mencampur adukkan masalah yang berbeda bidangnya misalnya antara bidang agama dengan bidang sejarah.
Logika tetap mempunyai jasa. Tujuan logika adalah memberi kejelasan tentang sesuatu secara netral (tidak berpihak) dan obyektif (apa adanya). Logika dapat menjadi saringan terhadap emosi yang berlebihan. Sebab dengan emosi yang berlebihan, orang tidak dapat berpikir jernih.
Memang setiap hal ada kekurangannya masing-masing. Logika-pun memiliki kekurangan yaitu membuat hidup menjadi kering. Bunga-bunga emosi menjadi layu. Kita menjadi manusia tidaklah bebas lagi, karena terikat kaidah-kaidah logis yang harus dituruti. Manusia kehilangan spontanitas dan intuisinya. Logika menyebabkan kita banyak berbicara tanpa pernah berhenti mengenai segala sesuatu yang perlu dijabarkan. Sedangkan mitos dan dongeng-dongeng mengajak kita untuk diam, kagum, dan takjub atas kehidupan ini.
Jadi, baik dongeng ataupun akal sehat, kita tetap memerlukan kedua-duanya sekaligus.