Kualitas Pribadi
Oleh: Lisa
Seringkali seorang pengamat atau krikitus sangat canggih dan tepat ketika diminta memberikan komentar-komentar. Akan tetapi, ketika pengamat atau kritikus itu mendapat kesempatan untuk menjadi pelaku di bidang yang biasa dia kritisi, ternyata hasilnya berbeda dengan ketika dia diminta komentarnya. Ketika menjadi seorang pelaku ternyata pengamat itu menjadi bodoh dan serba canggung. Hal itu terjadi dalam berbagai bidang baik ekonomi, politik, seni, maupun agama dan spiritual.
Dalam agama sering kita menonton tokoh-tokoh agama saling gontok-gontokan, saling memfitnah, saling menjatuhkan, saling menghujat, sangat jauh antara praktek dengan ajaran-ajaran yang diyakininya. Mengapa bisa demikian? Hal ini disebabkan karena para pemuka agama itu sebagai pengkhotbah teoritis, biasanya yang dilihat hanya permukaan dari suatu masalah atau dari salah satu sudut pandang saja. Padahal tidak ada masalah di dunia ini yang terjadi karena satu aspek saja, semua masalah yang timbul pasti merupakan akumulasi dari suatu proses. Di samping itu posisi sebagai pemain sangat berbeda dengan pengamat, oleh karena itu begitu kita terjun sebagai pemain, maka kita akan menemukan keterbatasan-keterbatasan yang seringkali tidak dapat diungkap keluar.
Dan yang paling penting adalah sebagai pengamat tidak terlibat secara emosi dengan masalah yang dihadapi, ataupun dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Berbeda dengan seorang pengamat, maka seorang pemain langsung terlibat secara emosi di dalam pusaran masalah sehingga mau tidak mau perasaan ikut terlibat. Perasaan-perasaan itu ada yang positif ataupun negatif. Perasaan yang positif, misalnya: welas asih, ketulusan, kepekaan, optimisme, praduga baik. Akan tetapi bisa juga perasaan negatif, misalnya: iri hati, serakah, kebencian, egoisme.
Sebagai pemain otomatis sangat rentan untuk terlibat dalam kepentingan-kepentingan, apabila kepentingan ini menjadi semakin kental dan sudah meleceng dari tujuan awal maka hal tersebut selalu menjadi pokok pangkal timbulnya masalah-masalah.
Agar bisa membebaskan diri dari perbuatan-perbuatan bodoh ketika sebagai pelaku, maka harus selalu berusaha meningkatkan ‘kualitas pribadi’ masing-masing. Kualitas pribadi itu harus selalu diasah, dipertajam, dan ditingkatkan mutunya.
Seorang yang memiliki kualitas pribadi yang tinggi akan berbeda dengan yang rendah mutu pribadinya. Hal ini terlihat pada saat menghadapi masalah. Seseorang yang mempunyai kualitas pribadi yang tinggi akan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dengan mudah, santai, tuntas, dan memakai cara-cara yang elegan. Sebaliknya seseorang yang rendah kualitas pribadinya jika menghadapi suatu masalah akan kesulitan menyelesaikan masalahnya, kalaupun diselesaikan selalu dengan cara-cara yang tidak mulus dan sering sekali malah menimbukan masalah baru, serta penyelesaiannya tidak jarang melibatkan kadar emosional yang tinggi.
Agar dapat meningkatkan kualitas pribadi, maka ada tiga hal yang harus senantiasa ditingkatkan, yaitu:
Guna meningkatkan tiga hal tersebut, maka harus banyak membaca buku-buku yang bermanfaat, berdiskusi dengan menggunakan nalar dan akal sehat, dan setiap saat selalu berusaha menambah pengetahuan yang dimiliki.