Arogansi
Oleh: Flyming Lika
Arogansi artinya kesombongan, keangkuhan atau kecongkakan. Dari mana arogansi ini timbul atau produk siapakah arogansi ini?
Seorang anak dengan bangganya mengatakan bahwa tadi di sekolah dalam berlomba ia berhasil menang dan mendapatkan juara. Dia juga mengatakan “Saya bisa ini……, saya bisa itu….! Temannya bodoh, yang begitu saja tidak bisa dan lain sebagainya!”
Yang ingin disampaikan oleh si anak adalah bahwa “Dia paling bisa, paling pintar, dan paling …. Paling lainnya”.
Terlihat bahwa sejak kecil lingkungan kita telah mengajarkan kita untuk bersaing dan bersaing. Hasilnya adalah suatu “penilaian” atau “angka”. Entah itu nilai dalam bentuk angka-angka (hadiah) atau kelebihan terhadap orang lain.
Pasti anak ini mengerti tidak mengerti bahwa: “perlombaan” atau “persaingan” ini akan memberikan dampak yang positif dan negatif terhadap dirinya.
Dampak positifnya yaitu “kebanggaan diri” yang menjadikan dia makin “percaya diri”.
Dampak negatifnya yaitu “arogansi” …. Dialah yang “paling ….. wah (hebat)!”.
Ok! Yach, inilah dunia anak ….!
Selanjutnya ….. anak ini tidak akan selamanya bermain dengan “Dunia Anak”-nya terus. Ia pun akan beranjak remaja dan dewasa.
Nah, pasti …. apa-apa yang telah ditanamkan sejak kecil akan dibawanya dan diterapkan juga pada pola kehidupan nyata saat ia dewasa kelak.
Disini terlihat bahwa “pola / kerangka berpikir” si anak telah dibentuk selama perjalanan hidupnya menuju kedewasaannya.
Bersaing ….. menghasilkan kerangka berpikir – pola banding.
Sadar atau tidak sadar, tindak tanduk serta sikapnya akan memberi andil pada lingkungan dimana dia bermasyarakat.
Kalau dihubungkan dengan kita Siu Tao ( ), disinilah salah satu pokok persoalan yang harus dibenahi.
Solusinya / jawabannya sih sederhana sekali yaitu “Asalkan kita bisa Wu / sadar”, maka tidak ada persoalan lagi.
Kenyataannya tidak semudah seperti apa yang dituliskan diatas, asal “Wu” maka semuanya beres.
Beratus-ratus tahun sampai sekarang bahkan sesama Taoyu ( ) sendiripun masih ada saja (bahkan banyak lho!) yang saling melecehkan bahkan terhadap Tao () itu sendiri.
“Kalau tidak ada persaingan maka tidak ada penilaian”
Dengan tidak adanya penilaian, niscaya tidak akan ada yang “Paling ….. wah hebat”, sehingga tidak timbul arogansi.
Pengertian diatas perlu direnungkan dengan seksama, apa makna semua ini?
Dengan kerangka berpikir – pola banding / membandingkan, maka akan menghasilkan “Wu” / kesadaran yang masih cenderung bersinggungan dengan arogansi ini.
Nah lho …. bagaimana ini?
Salahkan kita menggunakan kerangka berpikir – pola banding ini?
Kebanyakan pola banding yang kita pakai adalah pola banding terhadap luar kita, artinya kita selalu membanding-bandingkan diri kita terhadap orang lain atau sebaliknya, juga diri orang lain terhadap yang lainnya.
Coba deh kalau kita memakai kerangka accu-nya adalah diri kita sendiri dan pola banding-nya adalah internal (terhadap diri sendiri), maka hanya: “waktu”-lah sebagai indikatornya, yaitu sebelum Siu Tao ( ) kita begitu dan sesudah Siu Tao ( ) kita begini.
Bukan sebelum Siu Tao ( ) diam saja, setelah Siu Tao ( ) lalu menganggap dirinya setara dengan lainnya dan meremehkan yang belum Siu Tao ( ) atau sombong / arogan terhadap sesama Taoist yang lain.
Yang kemudian malah menjadikan “mandeg” / berhenti dalam Siu Tao ( ) nya.
Ini menandakan bahwa adanya ketidakpuasan / keirian dibalik kesombongan dalam dirinya, karena selalu membandingkan dirinya terhadap orang lain. Sehingga terkadang frustasi tidak mengerti mengapa bisa demikian?
Ada pula arogansi lain, produk dari kerangka berpikir – pola banding ini. Biasanya menjalar pada mereka yang merasa dirinya lebih tinggi, lebih senior, atau …. lebih-lebih lainnya …. dari kacamata lingkungan sekitar dan atau dirinya.
Mengapa merasa “lebih”? …. Karena melihat orang lain “kurang”.
Inikah yang kita mau dalam proses kita Siu Tao (maksudnya Siu Cen)? Pasti tidak!
Kalau kita telah berhasil menjadikan diri kita diatas semua “kekurangan” orang lain (lebih dari si dia ini dan dari si anu itu atau orang ini kurang ini dan orang itu kurang itu). Lalu apakah kita sudah disebut berhasil Siu Tao?
Masih jauh dari Siu Cen, sebab disaat diri kita merasa “lebih” (menjadikan kita arogan), disitulah letak kekurangannya….. Kapan bisa Cen, apa lagi Tek Tao?
Celakanya kalau orang kena “virus arogansi” ini, tidak merasakannya, bahkan sebaliknya mengatakan bahwa orang lain yang “arogan”! Ha…ha…ha…
Lalu kita harus minum apa? Eh salah, kita harus bagaimana agar diri kita tidak arogan?
Kembali lagi “Wu” ….. beres khan?
Lebih baik …. Hapuskan arogansi dari kamus diri kita.
Semuanya mengacu dari dalam diri sendiri. Kerangka berpikir – pola banding-pun internal yaitu membandingkan diri sendiri sebelum dan sesudah ….. sepanjang masa. Rendah hati dan lapang dada. Itulah modal menuju “Wu” yang hakiki dan benar.
Arogan ….? Tidak…..Hanya percaya diri!
Bingung? ….Jangan!
Nyanyikan lagu!…. Siau Yau Ce Cay …. Siau Yau Yu…..