Post Views: 844
Ta Jia Xue Tao Hao,
Berikut Tanya Jawab Tao bagian 7 :
- Tanya: Bolehkah meja bekas Altar Dewa Kwan Kong digunakan untuk Altar Meja Ti Kong?
Jawab: Tentu saja boleh! Meja hanyalah sebuah meja – tidak lebih dan tidak kurang.
- Tanya: Bagaimana pandangan umat Tao mengenai ritual lepas burung?Apakah ritual lepas burung bisa dikategorikan cisuak/buang sial? Apakah bisa juga dikategorikan sebagai pahala/perbuatan baik?
Jawab: Apakah “Kesialan/Karma Buruk” dapat ditransfer atau dialihkan dengan melakukan ritual melepaskan mahluk hidup ke alam bebas? Apakah semudah itu?
Memang itu merupakah suatu perbuatan baik, tapi perbuatan itu akan menjadi perbuatan jahat kalau kita melepaskan mahluk itu tidak dihabitatnya karena akibatnya justru akan menyebabkan mahluk hidup itu jadi mati, misalnya karena tidak makan, dsb. Sebagai contoh pernah ditemukan beberapa bangkai kura-kura diantara tumpukan batu pemecah ombak di tepi pantai, kenapa ? Karena kura-kura itu hidupnya bukan di laut (air asin), kalau mau melepaskan untuk di laut, maka yang harus dibeli itu penyu yang memang hidupnya di laut. Contoh lainnya melepaskan burung kecil (yang jelas-jelas pemakan padi), kita beli beberapa puluh ekor untuk di lepaskan di kota besar, lalu mau makan apa dia, apa di kota besar ada sawah?
- Tanya: Untuk apa sih orang sembahyang pakai lilin dan hio yang besar-besar? Apa ada pengaruhnya?
Jawab: Kita perlu tahu bahwa Dewa-Dewi Tao itu welas asih dan tidak pilih kasih, ini baru benar-benar Tao.
Tentang hio, sebenarnya kalau kita pakai hio untuk sembahyang seperti halnya kalau kita masuk rumah orang “ketuk pintu” permisi. Begitu saja.
Besar kecilnya hio itu tidaklah menjadi masalah didepan Dewa. Tetapi mungkin bermasalah untuk beberapa orang (Yang mau berlagak Wah….) di depan Dewa. Bahkan mungkin tidak hanya didepan dewa tapi didepan sesama umat lainnya.
Inilah yang sangat disayangkan.
Tentang lilin, sebenarnya lilin itu sebagai penerangan saja. Memang orang Tionghoa sejak dulu kebudayaannya adalah suka memakai simbolik untuk suatu kasus tertentu. Dan ternyata memang banyak sekali simbol-simbol yang sudah ada. Termasuk aksara Tionghoa adalah dari simbol-simbol asalnya.
Lilin adalah memberi penerangan kepada kita. Kita hanya butuh satu lilin untuk menerangi ruangan. Simbol yang ditanamkan adalah “dengan satu lilin berkorban (dibakar) menerangi sekitar”.
Ini maksudnya adalah mestinya kita dapat memberi penerangan kepadaa sekitar kita (yang paling minim), seperti lilin tadi.
Inilah harapan Dewa-dewi Tao. Karena dengan demikian, pasti kita akan dilindungi dan mendapatkan hokgie yang setimpal dengan amal bakti kita. Karena kita dapat meneladani sifat-sifat Dewa tersebut.
Tapi apa yang terjadi,……….. justru terbalik.
Banyak yang mengartikan lain, seolah-oleh lilin yang dipasang memberikan “penerangan” kepada yang memasangnya. Yang pada gilirannya saling berlomba untuk memasang lilin sebesar mungkin, hanya demi pamor “Nama dan Harta” belaka.
Perlu direnungkan oleh kita semua:
Kalau kita mau punya anak, apa harapan kita?
1. Kalau bisa anak kita sepandai kita.
2. Kalau bisa anak kita lebih pandai dari kita.
Itu namanya dari generasi ke generasi ada perbaikan dan kemajuan.
- Tanya: Apakah ada suatu aturan tersendiri mengenai berapa lembar/kunci Thien Kim yang dibutuhkan sebagai landasan rupang? Karena ada yang bilang bahwa landasan Thien Kim yang lama tidak boleh dibuang, tapi ditambahkan terus dari tahun ke tahunnya.
Jawab: Kalau kita memang mau belajar Tao atau Siu Tao yang Cen (lurus), maka perlu mengerti dahulu apa itu Dewa, siapa Dia; apa sifat-sifatNya dan lain sebagainya.
Kemudian sedikit mengerti Tao, bahwa Wu (Kesadaran dan nalar yang tinggi) itu penting dalam proses hidup ini.
Kim Cua adalah peninggalan tata cara kuno umat Tao, memang benar. Tapi Tao itu selalu berubah mengikuti Jaman Nya.
Perubahan Tata Cara Sembahyangan tidak masalah kalau inti bersembahyang masih dipegang teguh (kemantapan dan ketulusan hati).
Patung tetap patung.
Maka dengan kemajuan jaman, patung sudah dibuat dari keramik yang quality-nya bagus, saya kira Kim Cua sudah tidak dipakaipun tidak masalah.
Kalau toh sampai hanya karena Kim Cua maka Dewanya marah, ini bukan sifat Dewa Tao lagi.
Dewa-Dewi Tao adalah welas asih, Beliau-beliau ini tidak punya rasa dendam dan benci apa lagi menghukum umat-Nya.
Kalau toh itu memang sudah harus di rubah tata cara yang tidak logis, mestinya kita berani merubahnya.